Kerukunan Beragama

Pengertian, Dasar dan Prinsip

Apa itu Kerukunan?

Ilustrasi foto kerukunan beragama

Dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia, cita-cita

mengenai masyarakat yang dapat mengelola konflik dengan baik

diungkapkan dengan istilah kerukunan. Peraturan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006,

yang merupakan dasar pendirian FKUB, mendefinisikan kerukunan

sebagai berikut:

“hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, 

saling pengertian, saling menghormati, menghargai 

kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya (sic!) dan 

kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan 

bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 

Republik Indonesia Tahun 1945.”

Istilah ini sesungguhnya tidak baru, dan telah digunakan di

Indonesia sejak tahun 1960-an. Frase kerukunan umat beragama

diperkenalkan oleh KH. Moh. Dahlan saat membuka musyawarah

antar umat beragama pada 30 November 1967. Mukti Ali, Menteri

Agama RI (1971-1978) yang dikenal sebagai peletak dasar dialog

antaragama, menjelaskan kerukunan sebagai berikut: 

“Kerukunan hidup beragama adalah suatu kondisi sosial 

di mana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk 

melaksanakan kewajiban agamanya.”1

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah hidup bersama-sama, dan 

tanpa mengurangi hak dasar masing-masing. Ada beberapa implikasi

dari pemahaman ini. Pertama, pandangan yang mempertentangkan

istilah “kerukunan beragama” dengan “kebebasan beragama”

sesungguhnya telah mengelirukan kedua konsep tersebut. Kebebasan

beragama, sebagaimana akan dibahas di bawah, berbicara mengenai

hak-hak dasar setiap orang beragama, yang harus dipenuhi; kerukunan

beragama adalah kondisi dimana semua orang bisa menjalankan 

haknya, dan hidup bersama-sama.

Sebagai contoh, setiap orang beragama memiliki hak untuk

beribadah, dan karenanya memerlukan tempat ibadah. Biasanya

tempat ibadah berada di ruang publik dimana ada umat-umat

beragama lain, sehingga umat beragama harus berbagi satu ruang 

publik yang sama dengan umat-umat lain. Situasi kerukunan yang

baik adalah jika setiap umat beragama memperoleh haknya, dan bisa

hidup bersama-sama dengan umat agama lain. Karena itu, kebebasan

beragama selayaknya tidak dibatasi atas nama menjaga kerukunan.

Keduanya berjalan bersama-sama. Kerukunan tanpa kebebasan

bukanlah kerukunan yang sejati.

Kedua, perlu dicatat pula bahwa karena kerukunan menyangkut

kemampuan hidup bersama, maka ia mensyaratkan adanya toleransi.

Namun toleransi barulah merupakan syarat minimal. Toleransi adalah

perwujudan dari pengakuan dan penghargaan akan keberadaan umat

lain. Situasi kerukunan yang ideal mengandung juga unsur kerja sama

antarumat beragama.2

Ada beberapa turunan lain dari pengertian kerukunan di atas, yaitu menyangkut bagaimana kerukunan itu dicapai dalam hubungannya

dengan regulasi formal, dan hubungan “mayoritas-minoritas”.

Keduanya akan dibahas di bawah.

Dasar Legislatif untuk Kerukunan: Kesetaraan dan Non-Diskriminasi

Dasar terpenting dan pertama yang menyatakan komitmen Indonesia

pada terciptanya kehidupan keagamaan yang menghargai setiap

warga negara, sebagai dasar dari masyarakat yang baik, rukun, dan

damai adalah UUD 1945, yang menyatakan:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 

(Pasal 29, Ayat (2))

Ketika UUD 1945 diamandemen pada tahun 2000-2002, pasal

ini tidak diubah. Ia bahkan diperkuat dengan beberapa pasal lain di

bawah bab mengenai hak-hak asasi manusia, yang tercakup dalam

Pasal 28A-J.

Selain itu, setidaknya ada dua UU lain yang menegaskan

kemerdekaan beragama setiap warga negara, yaitu UU Hak-hak

Asasi Manusia (No. 39/1999) dan UU tentang Pengesahan Kovenan

Internasional Hak-Hak Spil dan Politik (International Covenant On Civil

And Political Rights /ICCPR) (No. 12/2005).

Selain mengenai kemerdekaan beragama, prinsip penting lain

yang muncul dalam UU tersebut adalah prinsip non-diskriminasi atas 

dasar agama. Prinsip ini muncul dalam banyak UU, seperti misalnya

UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU tentang Penanganan

Bencana, dan UU tentang Penanganan Konflik Sosial. Artinya, dalam

menjalankan pendidikan, menangani bencana, atau menangani 

konflik sosial, tidak boleh ada pembedaan yang merugikan atas orang

atau sekelompok orang tertentu atas dasar agama yang dianutnya.

Diskriminasi adalah perlakuan yang berbeda dan merugikan (tidak

adil) karena adanya prasangka atas dasar identitas tertentu (agama,

jenis kelamin, usia, suku-bangsa, ras, dan sebagainya)

Selain legislasi di atas, ada beberapa peraturan yang lebih spesifik

yang kerap disinggung dalam pengaturan kehidupan beragama.

Dua contoh terpentingnya adalah pengaturan pembangunan rumahibadah (sebagai bagian dari Peraturan Bersama Menteri pada 

tahun 2006) dan “penodaan agama” (UU No. 1/PNPS/1965). Kedua

peraturan tersebut sudah kerap dipertanyakan efektivitasnya, namun

masih berlaku.

Untuk itu, perlu diingat bahwa kerukunan adalah konsep yang

lebih besar daripada peraturan-peraturan tertentu. Sikap yang

terlalu kaku-legalistik (misalnya terkait hitung-hitungan jumlah tanda

tangan sebagai syarat pendirian rumah ibadah) bisa jadi justru tidak

membantu dalam mengelola perselisihan dan mencapai kerukunan.3

Dalam kasus seperti itu, jika peraturan tertentu sulit dipenuhi atau

justru mempersulit pemenuhan hak sebagian orang, FKUB diharapkan 

membantu pemenuhannya karena,seperti dibahas di atas, kerukunan

mensyaratkan terpenuhinya hak atau kebutuhan setiap orang. Hal

ini dibahas lebih jauh di bawah, dan juga di Bab 3 yang membahas

beberapa pendekatan penanganan konflik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Sakinah dalam Islam